Secara ilmiah pelaksanaan pendidikan
jasmani mendapat dukungan dari berbagai disiplin ilmu, di mana
pandangan-pandangan dari setiap disiplin tersebut dapat dijadikan sebagai
landasan bagi berlangsungnya program penjas di sekolah-sekolah.
Landasan ilmiah dari minimal tiga disiplin ilmu, yaitu
dari sudut pandang biologis, sudut pandang psikologis, dan yang terakhir sudut
pandang sosiologis.
a. Landasan
Biologis bagi Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani adalah disiplin
yang berorientasi tubuh, di samping berorientasi pada disiplin mental dan
sosial. Guru pendidikan jasmani karenanya harus memiliki penguasaan yang kokoh
terhadap fungsi fisikal dari tubuh untuk memahami secara lebih baik
pemanfaatannya dalam kegiatan pendidikan jasmani.
Khususnya dalam masa modern
dewasa ini, ketika pendidikan gerak dipandang teramat penting, pengetahuan
tentang bagaimana tubuh manusia berfungsi dipandang amat krusial agar bisa
melaksanakan tugas pengajaran dengan baik.
Joseph W. Still telah menghabiskan
waktu bertahun-tahun untuk meneliti perilaku fisikal dan intelektual manusia.
Meskipun penelitiannya sudah berlangsung di masa lalu, namun masih menemukan
faktanya di masa kini, bahkan maknanya seolah mendapatkan angin baru dalam era
teknologi dewasa ini.
Dalam penelitiannya, Still menemukan bahwa keberhasilan
manusia dalam pencapaian prestasi, baik dalam hal prestasi fisikal maupun dalam
prestasi intelektual, berhubungan dengan usia serta dapat digambarkan dalam
bentuk sebuah kurva, di mana kurva itu bisa menaik dan bisa menurun, sesuai
dengan perjalanan usia manusia.
Dalam kurva hasil penelitian Still
ditunjukkan bahwa tidak lebih dari 5% populasi manusia berhasil mendaki kurva
keberhasilan, sedang selebihnya lebih banyak mengikuti kurva kegagalan,
terutama setelah melewati usia antara 25 hingga 35 tahun.
Yang menarik, menurut
dugaan Still, kurva kegagalan dalam pertumbuhan fisik menunjukkan bahwa perkembangan
fisik manusia dewasa ini semakin berkurang.
Sebabnya, manusia modern sekarang
dihadapkan pada rendahnya melakukan latihan fisik, di samping karena terlalu
banyak makan, minum, dan merokok; sehingga mereka merosot kondisinya setelah
usia 30 tahunan.
Demikian juga dalam hal pertumbuhan dan perkembangan
psikologis, yang menunjukkan kurva kegagalan dalam hal prestasinya. Ciri-ciri
perkembangan mental menunjukkan puncak prestasi pada tahap perkembangan yang
berbeda.
Kemampuan mengingat dicapai pada usia
muda, imajinasi kreatif mencapai puncaknya pada usia dua puluhan hingga tiga
puluhan, keterampilan menganalisis dan sintesis suatu persoalan berakhir di
usia pertengahan, sedangkan pada usia-usia berikutnya berkembang kemampuan
berfilsafat.
Secara biologis, manusia dirancang
untuk menjadi mahluk yang aktif. Meskipun perubahan dalam jaman dan peradaban
telah menyebabkan penurunan dalam jumlah aktivitas yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas-tugas dasar yang berkaitan dengan kehidupan, sebenarnya tubuh
manusia tidaklah berubah.
Karenanya, manusia harus tetap menyadari bahwa dalam
hal kesehatan tubuhnya, dasar biologisnya menuntut dan mengakui pentingnya
aktivitas fisik yang keras dalam hidupnya. Jika tidak, kesehatan,
produktivitas, serta efektivitas hidupnya akan menurun drastis.
Dalam hal
itulah pendidikan jasmani yang baik di sekolah dan di masa-masa berikut dalam
hidupnya dipandang amat penting dalam menjaga kemampuan bilogis manusia.
Dipandang dari sudut ini, pendidikan jasmani terikat dekat pada kekuatan
mental, emosional, sosial, dan spiritual manusia.
Baca juga:
b. Landasan
Psikologis Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani melibatkan
interaksi antara guru dengan anak serta anak dengan anak. Di dalam adegan
pembelajaran yang melibatkan interaksi tersebut, terletak suatu keharusan untuk
saling mengakui dan menghargai keunikan masing-masing, termasuk kelebihan dan
kelemahannya.
Dan ini bukan hanya berkaitan dengan kelainan fisik semata-mata,
tetapi juga dalam kaitannya dengan perbedaan psikologis seperti kepribadian,
karakter, pola pikir, serta tak kalah pentingnya dalam hal pengetahuan dan
kepercayaan.
Program pendidikan jasmani yang baik
tentu harus dilandasi oleh pemahaman guru terhadap karakteristik psikologis
anak, dan yang paling penting dalam hal sumbangan apa yang dapat diberikan oleh
program pendidikan jasmani terhadap perkembangan mental dan psikologis anak.
Studi dalam ilmu-ilmu psikologi
mempunyai implikasi untuk para guru pendidikan jasmani, terutama dalam wilayah
atau sub-disiplin ilmu teori belajar, teori pembelajaran gerak, perkembangan
kepribadian, serta sikap.
Kesemua sub-disiplin itu, memberikan pemahaman yang
lebih luas dalam hal bagaimana anak belajar, dan yang terpenting upaya apa yang
harus dipertimbangkan guru dikaitkan dengan menciptakan lingkungan belajar yang
memungkinkan anak belajar.
Kata psikologi berasal dari
kata-kata Yunani psyche, yang berarti jiwa atau roh, dan logos, yang berarti
ilmu. Diartikan secara populer, psikologi adalah ilmu jiwa atau ilmu pikiran.
Para ahli psikologi mempelajari hakikat manusia secara ilmiah, dan untuk
memahami alam pikiran manusia, termasuk anak, termasuk ciri-ciri manusia ketika
belajar. Pendidikan jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada
penguasaan gerak manusia.
Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kecenderungan
dan hakikat gerak ini, misalanya melalui teori gerak dan teori belajar gerak,
maka memungkinkan guru lebih memahami tentang kondisi apa yang perlu disediakan
untuk memungkinkan anak belajar secara efektif.
Jika dahulu para guru penjas lebih
bersandar pada teori belajar behaviorisme, yang lebih melihat proses
pembelajaran dari perubahan perilaku anak, maka dewasa ini sudah diakui adanya
keharusan untuk memahami tentang apa yang terjadi di dalam diri anak ketika
mempelajari keterampilan gerak, yang ditunjang oleh berkembangan teori belajar
kognitivisme.
Bersandar secara berlebihan pada
teori belajar behaviorisme tentu mengandung kelemahan tertentu, karena
mendorong dan membenarkan guru dengan proses pembelajaran yang sangat mekanistis;
sekedar terjadi persambungan antara stimulus (aba-aba guru) dengan respons
siswa (gerakan siswa), yang diperkuat oleh adanya reinforcement (ucapan pujian
dari guru).
Akibatnya, guru pun umumnya abai dengan bagaimana sebenarnya proses
yang terjadi di dalam otak dan perangkat gerak anak, sehingga guru tidak pernah
terlalu mempertimbangkan kualitas dari proses pembelajaran, termasuk keharusan
untuk melibatkan proses berpikir dari anak.
Akhirnya, anak relatif tidak pernah
punya gagasan apapun dalam pelajaran, dan klaim bahwa penjas memiliki peranan
dalam pengembangan kemampuan intelektual anak tidak terbuktikan secara nyata.
Perkembangan teori belajar
kognitivisme menguak fakta kekakuan proses pembelajaran penjas tersebut. Dalam
salah satu teori belajar pengolahan informasi (information processing theory)
diungkap bahwa idealnya pembelajaran gerak adalah sebuah proses pengambilan
keputusan, yang secara hirarkis akan selalu melalui tiga tahapan yang tetap,
yaitu tahap mengidentifikasi stimulus, tahap memilih respons, dan tahap
memprogram respons.
Jika pada proses pembelajaran siswa diberi kesempatan dan
didorong untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan pengambilan keputusannya,
maka secara pasti kemampuannya tersebut terlatih, karena masing-masing perangkat
yang berhubungan dengan ketiga tahapan pengambilan keputusan itupun kemampuannya
semakin meningkat pula.
Dari pemahaman terhadap landasan
psikologis itulah, maka pembelajaran penjas yang baik tidak cukup hanya dengan
memberikan perintah dan tugas-tugas gerak semata (misalnya dengan instruksi
yang klasik seperti, “... ketika kamu menerima bola, kamu lari ke arah sana,
lalu kamu lempar bola itu ke si A, dan kamu kembali ke sini”),
Melainkan harus
pula dibarengi dengan upaya memberikan kesempatan pada mereka untuk
menganalisis situasi dan berikan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri
(misalnya: “... baik, ketika posisi lapangan ketat dan kamu dijaga terus oleh
lawan, kira-kira kemanakah kamu harus melempar bola? Coba kita praktekkan,
apakah keputusanmu sudah tepat atau tidak?”).
c. Landasan Sosiologis dalam Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani adalah sebuah
wahana yang sangat baik untuk proses sosialisasi. Perkembangan sosial jelas
penting, dan aktivitas pendidikan jasmani mempunyai potensi untuk menuntaskan
tujuan-tujuan tersebut.
Seperangkat kualitas dari perkembangan sosial yang
dapat dikembangkan dan dipengaruhi dalam proses penjas di antaranya adalah
kepemimpinan, karakter moral, dan daya juang.
Sosiologi berkepentingan dengan
upaya mempelajari manusia dan aktivitasnya dalam kaitannya dengan hubungan atau
interaksi antar satu manusia dengan manusia lainnya, termasuk sekelompok orang
dengan kelompok lainnya.
Di sisi lain, sosiologi berhubungan juga dengan ilmu
yang menaruh perhatian pada lembaga-lembaga sosial seperti agama, keluarga,
pemerintah, pendidikan, dan rekreasi.
Singkatnya, sosiologi adalah ilmu yang
berkepentingan dalam mengembangkan struktur dan aturan sosial yang lebih baik
yang dicirikan oleh adanya kebahagiaan, kebaikan, toleransi, dan kesejajaran
sosial.
Dikaitkan dengan landasan tersebut,
seorang guru penjas sesungguhnya adalah seorang sosiologis yang perlu
mengetahui prinsip-prinsip umum sosiologi, agar mampu memanfaatkan proses
pembelajarannya untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat dikembangkan melalui
penjas.
Sebagaimana dikemukakan Bucher, guru yang mengerti sosiologi dalam
konteks kependidikan akan mampu mengembangkan minimal tiga fungsi:
(1) pengaruh
pendidikan pada institusi sosial dan pengaruh kehidupan kelompok pada individu,
seperti bagaimana sekolah berpengaruh kepribadian atau perilaku individu;
(2)
hubungan manusia yang beroperasi di sekolah yang melibatkan siswa,orang tua, dan guru dan bagaimana mereka mempengaruhi kepribadian dan perilaku individu;
dan
(3) hubungan sekolah kepada institusi lain dan elemen lain masyarakat,misalnya pengaruh dari pendidikan pada kehidupan masyarakat kota.